Teori Pembelajaran Deskriptif, Behavioritik, Kognitifistik, Humanistik, Konstruktifistik


Bentuk Teori Pembelajaran Deskriptif, Behavioristik, Kognitivistik,
Humanistik, dan Konstruktivistik


BAB I
PENDAHULUAN


I.        Latar Belakang Teori Belajar dan Pembelajaran

 Lawatan Sejarah adalah suatu kegiatan perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites). Jika mencermati uraian di muka, khususnya tentang pengembangan model pembelajaran berbasis teori belajar yang berkembang, maka Lawatan Sejarah dapat dikembangkan sebagai model pembelajaran sejarah baik dengan basis teori behavioristik, koqnitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan/atau murid mengemasnya. Tentu saja, kalau kita mengikuti perkembangan baru. Terutama paradigma baru yang dijadikan rujukan yang mendasari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yang dituangkan baik pada UU tentang Sisdiknas maupun Peraturan Menteri tentang Standar Kompetensi dan Implementasinya, maka sangat jelaslah bahwa paradigma pembelajaran kontruktivisme menjadi pilihan utamanya.
Mengamati perkembangan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, gejala diterimanya paradigma konstruktivisme dan tren pembelajaran quantum sungguh menggembirakan. Hal ini terbukti dari mulai maraknya kegiatan-kegiatan pendidikan baik formal (sekolah) maupun non formal (pelatihan, workshop, atau bahkan seminar lokakarya) yang dikemas dalam bentuk Edutainment.
Kita sudah lama mengenal istilah learning by doing, maka learning by experiencing adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan "Edutainment". Edutainment yaitu sebuah konsep yang saat ini sedang dikembangkan oleh berbagai lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun non formal (lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan, workshop, atau seminar). Bahkan dinegara maju, edutainment telah ditopang oleh teknologi yang maju, sehingga sebutannya menjadi edutainment and technotainment (Edutechnotainment: pen). Progam ini diakui telah membuka sumber daya baru, perkakas dan strategi untuk mengangkat capaian siswa ke tingkat yang lebih tinggi (McKenzie, 2000).
Edutainment adalah akronim dari "education and entertainment". Dapat diartikan sebagai progam pendidikan atau pembelajaran yang dikemas dalam konsep hiburan sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap peserta hampir tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sendang diajak untuk belajar atau untuk memahami nilai-nilai (value), sehingga kegiatan tersebut memiliki nuansa yang berbeda dibandingkan dengan pembelajaran biasa.
  Edutainment dapat digunakan untuk mengemas model pembelajaran melalui lawatan sejarah. Aplikasinya tergantung dari kebutuhan dan impact yang diharapkan oleh peserta. Lawatan sejarah yang dikemas dalam Edutainment akan menjadi lebih menarik bagi peserta. Sebenarnya lawatan sejarah ini hanyalah kendaraan saja. Yang terpenting adalah muatannya, baik itu internal maupun external issues
  Dalam rangka meningkatkan kemampuan pendidik, mereka harus memiliki dasar empiris yang  kuat untuk mendukung profesi mereka sebagai pengajar. Kenyataan yang ada, kurikulum yang  selama ini diajarkan di sekolah menengah kurang mampu mempersiapkan siswa untuk masuk ke  perguruan tinggi. Kemudian kurangnya pemahaman akan pentingnya relevansi pendidikan untuk  mengatasi masalah-masalah sosial dan budaya, serta bagaimana bentuk pengajaran untuk siswa dengan beragam kemampuan intelektual. Jerome S. Bruner, seorang peneliti terkemuka, memberikan beberapa gambaran tentang perlunya teori pembelajaran untuk mendukung proses  pembelajaran di dalam kelas, serta beberapa contoh praktis untuk dapat menjadi bekal persiapan  profesionalitas para guru. Berdasarkan penelitian selama beberapa tahun terakhir, cukup jelas  bagi saya (Jerome S.Bruner), bahwa dari segi psikologis dan dari desain kurikulum itu sendiri, sangatlah minim dibahas tentang teori pembelajaran. Teori pembelajaran yang sudah ada selama  ini, hanya terfokus pada kepentingan teoritis semata. Sebagai contoh, pada saat membahas tentang teori perkembangan, seorang anak tidak diajarkan pengaruhnya terhadap tantangan sosial dan bagaimana pengalaman nyata yang nantinya akan dialami anak ketika berada di masyarakat. Masih banyak contoh-contoh lain, bagaimana sebuah teori pembelajaran tidak menyentuh aspek sosial dari murud, dan hal ini merupakan bentuk pembodohan secara intelektual dan tidak memiliki tangungjawab moral.
 Dari permasalahan di atas, kita menyadari bahwa, sebuah teori pembelajaran sebaiknya juga menyangkut suatu praktek untuk membimbing seseorang bagaimana caranya ia memperoleh pengetahuan dan keterampilan, pandangan hidup, serta pengetahuan akan  kebudayaan masyarakat sekitarnya. Akan hal itu, mari kita susun beberapa teorema yang memungkinkan, yang mungkin akan membawa kita kepada sebuah teori pembelajaran yang baik. Apa yang dimaksud dengan teori pembelajaran? Saya akan mencoba menguraikan beberapa teorema untuk memisahkan apa yang kita  maksud dengan teori pembelajaran dari teori-teori yang sudah ada selama ini. Hal pertama yang akan saya sampaikan bahwa nature dari teori pembelajaran adalah prescriptive, bukan deskriptif. Teori tersebut memiliki tujuan untuk menghasilkan akhir yang luar biasa dan proses menghasilkannya melalui cara yang kita sebut optimal. Itu bukan sebuah deskripsi tentang apa yang terjadi saat proses belajar terjadi-itu adalah  sesuatu yang normatif, yang memberikan sesuatu yang mengena pada dirimu, dan pada akhirnya,  harus memberikan suatu catatan mengenai dirimu pada saat kamu memberikan pembelajaran di dalam kelas. Namun faktanya, banyak orang yang terlibat di dalam dunia pendidikan berasumsi bahwa mereka dapat mengandalkan jenis-jenis teori yang lain selain teori pembelajaran. Sebagai contoh, saya menemukan bahwa ketergantungan para pendidik terhadap  teori belajar sangat besar, padahal yang menjadi masalah adalah teori belajar bukan teoeri pembelajaran.
 Teori belajar adalah teori yang mendeskripsikan apa yang sedang terjadi saat proses belajar berlangsung dan kapan proses belajar tersebut berlangung. Tidak ada batasan yang jelas, bagaimana seseorang yang mengandalkan teori belajar dapat mengambil intisari yang tepat yang akan membimbing dia pada saat menyusun kurikulum. Ketika saya mengatakan bahwa teori pembelajaran itu prescriptive, yang saya maksud adalah suatu yang ada sebelum adanya fakta. Itu adalah sesuatu yang ada sebelum proses belajar terjadi, bukan ketika, dan bukan setelahnya. Teori pembelajaran harus mampu menghubungkan antara  hal yang ada sekarang dengan bagaimana menghasilkan hal tersebut. Teori belajar menjelaskan  dengan pasti apa yang terjadi, namun teori pembelajaran ’hanya’ membimbing apa yang harus  dilakukan  untuk menghasilkan hal tersebut.

Ada 4 hal yang terkait dengan teori pembelajaran:
1. teori pembelajaran harus memperhatikan bahwa terdapat banyak kecenderungan cara belajar
   siswa, dan kecenderungan ini sudah dimiliki siswa jauh sebelum ia masuk ke sekolah.
2. teori ini juga terkait dengan adanya struktur pengetahuan. Ada 3 hal yang terkait dengan
   struktur pengetahuan:
a. struktur pengetahuan harus mampu menyederhanakan suatu informasi yang sangat luas
b. struktur tersebut harus mampu membawa siswa kepada hal-hal yang baru, melebihi
   informasi yang anda jelaskan
c. struktur pengetahuan harus mampu meluaskan cakrawala berpikir siswa,
   mengkombinasikannya dengan ilmu-ilmu lain.
3. teori pembelajaran juga terkait dengan hubungan yang optimal. Seorang guru harus
   mampu mencari hubungan  yang  mudah tentang sesuatu yang akan diajarkan agar
  murid lebih mudah menangkap informasi tersebut.
4. yang terakhir, teori pembelajaran terkait  dengan  penghargaan dan hukuman.

Berdasarkan paparan umum diatas, pada bab II makalah ini akan dibahas beberapa teori pembelajaran antara lain :
a. Teori Pembelajaran Deskriptif dan Perspektif
b. Teori Pembelajaran Behavioristi
c. Teori Pembelajaran Kognitivistik
d. Teori Pembelajaran Humanistik
e. Teori Pembelajaran Konstruktivistik








































BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Teori Deskriptif dan Perspektif

        Untuk membedakan antara teori belajar dan teori pembelajaran bisa diamati dari posisional teorinya, apakah berada pada tataran teori deskriptif atau perspektif. Bruner (dalam Dageng 1989)  mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah perspektif dan teori belajar adalah deskriptif.  Perspektif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan teori belajar bersifat deskritif karena tujuan utama teori belajar adalah  menjelaskan proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan aantara  variable-variabel yang menentukan hasil belajar. Sedangkan teori pembelajaran sebaliknya teori ini menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Dengan kata lain teori pembelajaran berurusan dengan upaya mengontrol variable  yang dispesifikasikan dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar. (C.Asri Budiningsih,2004)
       Asri Budiningsih (2004) dalam buku Belajar dan Pembelajaran menjelaskan bahwa upaya dari Bruner untuk membedakan antara teori belajar yang deskriptif dan teori pembelajaran yang perspektif dikembangkan lebih  lanjut oleh Reigeluth.teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang deskriptif menempatkan variable kondisi dan metode pembelajaran sebagai givens dan menempatkan hasil belajar sebagai varibael yang diamati. Dengan kata lain, kondisi dan metode pembelajaran sebagai variable bebas dan hasil pembelajaran sebagai variable tergantung. Reigeluth (1983) dalam degeng,1990) mengemukakan bahwa teori perspektif adalah goal oriented  sedangkan teori deskriptif adalah goal free. Maksudnya adalah bahwa teori pembelajaran  perspektif dimaksudkan untuk mencapai tujuan, sedangkan teori belajar  deskriptif dimaksudkan  untuk memberikan hasil. Itulah sebabnya variable yang diamati dalam mengembangkan teori  belajar yang perspektif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam  pengembangan  teori pem, belajaran deskriptif, variable yang diamati adalah hasil belajar  sebagai akibat dari interaksi antara metode dan kondisi.
     Dengan kata lain teori pembelajaran  mengungkapkan hubungan  antara kegiatan pembelajaran dengan proses psikologis dalam diri  siswa, sedangkan teori belajar mengungkapkan hubungan antara kegiatan siswa dengan proses  psikologis dalam diri siswa. Teori pembelajaran harus memasukkan variable metode  pembelajaran. Bila tidak,  maka teori itu bukanlah teori pembelajaran.  Hal ini penting sebab  banyak yang terjadi apa yang dianggap sebagai teori pembelajaran yang sebenarnya adalah teori  belajar. Teori pembelajaran selalu menyebutkan metode pembelajaran sedangkan teori belajar sama sekali tidak berurusan dengan metode pembelajaran.

Ø  KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI BELAJAR DESKRIPTIF DAN PRESKRIPTIF

  KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI BELAJAR DESKRIPITIF

ü  KELEBIHAN
-        lebih terkonsep  sehingga siswa lebih memahami materi yang akan disampaikan.
-        mendorong siswa untuk mencari sumber pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam mengerjakan suatu tugas.   

ü KEKURANGAN  
-        kurang memperhatikan sisi psikologis  siswa dalam mendalami suatu materi.

 KELEBIHAN  DAN  KEKURANGAN  TEORI  BELAJAR  PRESKRIPTIF 

ü KELEBIHAN
-        lebih sistematis sehingga memiliki arah dan tujuan yang jelas.
-        banyak member motivasi agar terjadi proses belajar.
-        mengoptimalisasikan kerja otak secara maksimal.

ü KEKURANGAN
-        membutuhkan waktu cukup lama.


2.2 Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya

       Teori belajar behavioristik  menjelaskan belajar  itu adalah  perubahan  perilaku  yang  dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang  menimbulkan hubungan perilaku  reaktif  (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau  dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti  penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).

Teori Behavioristik:

1.  Mementingkan faktor lingkungan
2.  Menekankan pada faktor bagian
3.  Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif,
4.  Sifatnya mekanis
5.  Mementingkan masa lalu

A.      Edward Edward Lee Thorndike  (1874-1949): 

     Teori Koneksionisme Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan  Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun  1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku  yang ditulisnya antara lain  Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order  (1940). Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa  terbentuknya  asosiasi-asosiasi  antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau  berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.  Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box)  diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan  untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau  percobaan-percobaan (trials)  dan  kegagalan-kegagalan  (error)  terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut  hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering  disebut dengan teori belajar koneksionisme atau  teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan  Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia  dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Percobaan Thorndike  yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar  yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau  “selecting  and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah.  Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan  perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya,  sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
S R S1 R1 dst Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing  berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari.
Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah  kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop  tersebut apabila di luar diletakkan makanan.

Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut  :

1.   Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme  memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

Prinsip pertama teori  koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan  panca indera dengan kecenderungan bertindak.
Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan  cenderung  mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit  akan menghasilkan prestasi memuaskan Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.  Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbulah  rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau  meniadakan ketidakpuasannya. Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan  bertindak padahal ia melakukannya, maka timbulah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.

2.   Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan),  maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.

Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara  keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai. 
3.   Hukum akibat(law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya  menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.

Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan.  Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain  kali akan  diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung  dihentikan dan tidak akan diulangi. Koneksi antara kesan  panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah  dilakukan. Misalnya, bila anak  mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun,  jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan  membentuk sikapnya. Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang  berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa  dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan  terjadi secara mekanis(Suryobroto,  1984).
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:

a. Hukum Reaksi  Bervariasi (multiple  response). Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon  sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Hukum Sikap (Set/ Attitude). Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak  hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
c. Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element). Hukum ini mengatakan bahwa  individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif)
d. Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah  dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami  dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur  yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e. Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting) Hukum ini mengatakan bahwa proses  peralihan  dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap  dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit  unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya thorndike  mengemukakan  revisi  Hukum  Belajar  antara  lain  :
1. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum  tentu diperlemah.
2. Hukum  akibat  direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai  antara stimulus dan respon.

4. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu   lain.

        






         Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem boxnya.

B. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).

       Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah  gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fisiologi pada institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun  1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikology behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927). Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaanny terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini  sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanyapikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu (Bakker,  1985).

    Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, erilaku  manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian Pavlov mengadakan ksperimen dengan  menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki  kesamaan  dengan  manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang. Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah  air liur anjing tersebut. Kin sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar  merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila  perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya  memperlihatkan  sinar  merah  saja  tanpa  makanan  maka  air  liurpun  akan  keluar pula. Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnys air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat  atau Conditioned Respons.
       Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia. Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dpat diketahui bahwa daging yang  menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Apakah  situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang  sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suar a itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering  lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas.  Bayangkan, bila tidak ada lagu trsebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Contoh lai adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di  bank. Tanpa  disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari  pedagang makanan (rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah, bel masuk  kelas-istirahat  atau  usai  sekolah  dan  antri  di  bank  tanpa  harus  berdiri  lama. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk pendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia  dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

C. Edwin Gutrie
       Ia berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah, tingkah laku baik dapat diubah menjadi  buruk dan sebalkinya tingkah laku buruk dapat diubah menjadi baik. Teori  Gutrie berdasarkan atas  model penggantian stimulus satu ke stimulus yang lain. Tiga metode pengubahan tingkah laku yang  dikemukakan Gutrie antara lain:
Metode respon bertentangan. Misalnya jika anak takut terhadap sesuatu, misalnya kucing, maka letakkan permainan yang disukai anaka dekat dengan kucing. Dengan mendekatkan permainan anak pada kucing lambat laun anak tidak akan takut lagi pada kucing.
Metode membosankan. Misalnya seorang anak mencoba-coba mengisap rokok, minta kepadanya untuk mengisap rokok terus sampai bosan, setelah ia bosan ia akan berhenti merokok dengan sendirinya. Metode mengubah tingkah laku. Jika anak bosan belajar, ubahlah lingkungan belajarnya dengan suasana lain dengan yang lebih nyaman dan menyenangkan, sehingga ia merasa tertarik untuk belajar.

D.  Watson
       Setelah ia mengadakan berbagai eksperimen ia menyimpulkan bahwa pengubahan tingkah laku dapat dilakukan melalui latihan atau membiasakan memberikan reaksi terhadap stimulus yang diterima. Stimulus dan respon tersebut harus dapat diamati dalam bentuk tingkah laku.

E. Clark Hull
       Clark hull sangat terpengaruh terhadap teori evolusi charles Darwin. Semua fungsi tingkah laku mengemukakan bahwa semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup. Karena ituu kebutuhan biologis dan pemuasan biologis menempati posisi sentral. Implikasi logisnya adalah guru harus merencanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap motivasi belajar yang terdapat pada siswa. Dengan adanya motivasi, maka belajar merupakan penguatan. Makin banyak belajar makain banyak reinforcementm makin besar motivasi memberikan respon yang menuju keberhasilan belajar.

F. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).
       Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan
behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970) B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement  yang  bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.

Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan.

       Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.

Skinner membuat eksperimen sebagai berikut  :
       Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah ilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”,yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selam tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang
ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.
       Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau
menunjukkan perilaku tidak senang.

Beberapa prinsip Skinner antara lain :
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika bebar diberi penguat.
2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4. Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu
diubah, untukmenghindari adanya hukuman.
5.Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.

6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
7. Dalam pembelajaran digunakan shaping.

G. Robert Gagne ( 1916-2002).

       Gagne adalah seorang psikolog pendidikan berkebangsaan amerika yang terkenal dengan penemuannya berupa condition of learning. Gagne pelopor dalam instruksi pembelajaran yang dipraktekkannya dalam training pilot AU Amerika. Ia kemudian mengembangkan konsep terpakai dari teori instruksionalnya untuk mendisain pelatihan berbasis komputer dan belajar berbasis multi media. Teori Gagne banyak dipakai untuk mendisain software instruksional. Gagne disebut sebagai Modern Neobehaviouris mendorong guru untuk merencanakan instruksioanal pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi. Ketrampilan paling rendah menjadi dasar bagi pembentukan kemampuan yang lebih tinggi dalam hierarki ketrampilan intelektual. Guru harus mengetahui kemampuan dasar yang harus disiapkan. Belajar dimulai dari hal yang paling sederhana dilanjutnkanpada yanglebih kompleks ( belajar SR, rangkaian SR, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi(belajar aturan danpemecahan masalah). Prakteknya gaya belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus respon.

H. Albert Bandura (1925-masih hidup)

Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare alberta berkebangsaan Kanada. Ia
seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri.
Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak
meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:
1. Perhatian,  mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
2. Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik.
3. Reprodukdi motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan
   balik.
4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Selain itu juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip-prinsip
sebgai  berikut:
1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya.
2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
3.Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan
dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.

Karena melibatkan atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka Teori
Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku agresi dan
penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku.
Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai
pendidikan secara massal.

Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
   Pembelajaran Behavirosime
  Good et. al.(1973) menganggap Behaviorisme atau tingkah laku dapat diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah faktor rangsangan (stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement). Teori ini menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan respon peserta didik terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan di antara stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (hukuman).
     Sebagai contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran positif setelah dia menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) yang terbina akan memberi rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi. Peserta didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat response positif.
Hal-hal yang harusdiperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
a. Mementingkan pengaruh lingkungan
b. Mementingkan bagian-bagian
c. Mementingkan peranan reaksi
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
e. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
f. Mementingkan pembentukan  kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
g. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Pengembangan model pembelajaran behaviorisme.
 Sesuai dengan pilosofis yang dianut oleh para ahli behavioris tentang belajar, yaitu perubahan perilaku yang dapat diukur, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus diarahkan pada proses penciptaan perilaku baru yang dapat diukur. Menurut pilosofis behaviorist, belajar terjadi berdasarkan pola berfikir deduktif, dan siswa belajar secara individu (individual learning). Selain itu, dalam proses pemelajarannya lebih terfokus pada guru (teacher centered). Model pembelajaran yang dapat dikembangkan diantaranya adalah model pembelajaran mastery, model pembelajaran langsung, model pembelajaran simulasi, model pembelajaran sosial, dan model pembelajaran berprogram. Setiap model tersebut dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan dan strategi.

       Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru  tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat  yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana samapi pada yang kompleks. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
       Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian. Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu  motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oelh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.

KELEBIHAN  DAN  KEKURANGAN  TEORI  BELAJAR  BEHAVIORISTIK

KELEBIHAN                                                              

1. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar
2. Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang menbutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
3. Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan
4. Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa , suka mengulangi dan harus dibiasakan , suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
5. Mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan mendapatkan penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif, yang didasari pada perilaku yang ampak. 
6. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang kontinue dapat mengoptimalkan bakat dan  kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudah mahir dalam satu bidang tertentu maka akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang kontinue tersebut dan lebih optimal.
7. Bahan pelajarn yang disusun secara hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks  dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilkan sustu perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.

KEKURANGAN                                                          

1.   Sebuah konsekuensi bagi guru, untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah
siap
2. Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini
3. Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
   mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.
4. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa
     yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif
5. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru
dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa
6. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar  dan sangat dipengaruhi oleh penguatan
   yang diberikan guru.
7. Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu kondisi pembelajaran juga mengakibatkan  terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi
siswa yaitu guru sebagai sentral bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah guru
melatih dan menetukan apa yang harus dipelajari murid sehingga dapat menekan kreatifitas siswa. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan meghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatif siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaiakn oleh siswa


2.3 Teori Belajar Kognitivistik dan Penerapanny

Penganut aliran kognitivisme menganggap bahwa belajar merupakan proses internal yang melibatkan memori, motivasi, refleksi, berfikir, dan meta kognisi. Dalam pandangan aliran tersebut, pikiran manusia memanipulasi simbol-simbol seperti komputer memanipulasi data. Karena itu, pembelajar dianggap sebagai prosesor informasi. Psikologi kognitif meliputi proses belajar dari pemrosesan informasi, dimana informasi diterima di bermacam-macam indera, ditransfer ke memori jangka pendek dan jangka panjang. Informasi menjalani aliran transformasi dalam pikiran manusia sampai informasi tersebut tersimpan secara permanen di memori jangka panjang dalam bentuk paket-paket pengetahuan. Aliran kognitivisme mengakui pentingnya perbedaan individu dan bermacam-macam strategi belajar untuk mengakomodasi perpedaan tersebut. Gaya belajar yang berbeda-beda (Gardner, 1983; Kolb, 1984) mengacu ke bagaimana siswa menerima. berinteraksi, dan merespons bahan ajar.

Perancang instruksional harus memikirkan aspek-aspek berikut untuk merealisasi materi E-Learning.
-  Strategi pengajaran sebaiknya meningkatkan proses belajar dengan mendayagunakan
   semua indera, memfokuskan perhatian siswa melalui penekanan pada informasi     
   penting, dan menyesuaian dengan level kognitif siswa.
-  Perancang instruksional sebaiknya mengaitkan informasi baru dengan informasi lama
   yang telah ada di memori jangka panjang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
   memberikan pertanyaan awal untuk mengaktifkan struktur pengetahuan yang
   diperlukan untuk materi ajar baru.
-  Strategi menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi sebaiknya
   digunakan untuk menstimulasi belajar level tinggi.
-  Bahan ajar sebaiknya memasukkan aktivitas untuk gaya belajar yang berbeda-beda.
-  Siswa perlu dimotivasi untuk belajar melalui strategi belajar yang menstimulasi
   motivasi  intrinsik (berasal dari diri siswa) dan motivasi ekstrinsik (berasal dari guru).
-  Strategi pengajaran sebaiknya mendorong siswa menggunakan ketrampilan meta
   kognitifnya dengan cara merefleksi apa yang mereka pelajari, berkolaborasi dengan
   siswa lain maupun memeriksa kemajuan belajar mereka sendiri.
-  Akhirnya, strategi pengajaran sebaiknya menghubungkan materi ajar dengan situasi riil
   di kehidupan mereka, sehingga siswa dapat mengaitkan pengalaman mereka sendiri.

Secara keseluruhan, perancang instruksional harus memikirkan mulai dari perbedaan aspek-aspek gaya belajar sampai motivasi, kolaborasi maupun meta kognitif. Pendekatan berfokus pada kognitif sesuai untuk mencapai tujuan belajar tingkat tinggi. Kelemahannya adalah jika siswa tidak mempunyai pengetahuan prasyarat.

   Pembelajaran Kognitif
           Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (2) iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar; dan (3) symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak
           Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif: pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), dan pemindahan informasi (transferring information). Menurut Bruner (1963) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol.
         Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1) Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya; DAN (4) Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36)

Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori kognitivisme.
Menurut pandangan kognitivis, belajar bukan hanya sekedar perubahan perilaku yang dapat diukur, melainkan bagaimana pengetahuan tersebut diproses. Dengan kata lain, menurut kognitivis belajar bukan hanya sekedar keterkaitan antara stimulus dan respons, melainkan apa yang terjadi didalam fikiran atau mental orang yang belajar. Menurut pandangan kognitivis, seseorang dikatakan belajar apabila dalam diri individu tersebut terjadi proses pengolahan informasi dari saat menerima informasi baru, mengolah, menyimpan dan mengulang kembali. Menurut pandangan ini, belajar akan baik apabila diseusuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Artinya, mengajarkan topik yang sama untuk anak dan orang dewasa akan memiliki cara yang berbeda. Dalam proses berfikirnya, dapat menganut pola fikir deduktif, maupun induktif.

A.       Robert M. Gagne
Salah satu teori yang berasal dari psikolog kognitiv adalah teori pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh Robert M. Gagne. Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut:
-      Reseptor (alat indera): menerima rangsangan dari lingkungan dan engubahnya menjadi rangsaangan neural, memberikan symbol informasi yang diterimanya dan kemudian di teruskan. Sensory register (penempungan kesan-kesan sensoris) :  yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi sehingga terbentuk suatu kebulatan perceptual. Informasi yang masuk sebagian masuk ke  dalam memori jangka pendek dan sebagian hilang dalam system.
-      Short term memory (memory jangka pendek) : menampung hasil pengolahan perceptual dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan untuk menentukan maknanya. Memori jangka pendek  dikenal juga dengan informasi memori kerja, kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya  juga pendek. Informasi dalam memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya diteruskan ke memori jangka panjang.
-      Long Term memory (memori jangka  panjang) : menampung hasil pengolahan yang ada di memori  jangka pendek. Informasi yang disimpan dalam jangka panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan saja.
-      Response generator (pencipta  respon): menampung informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban.

B.  Jean Piaget
Menurut  Piaget proses belajar sebenarnya terdiri atas tiga tahapan yaitu  :
  Asimilasi : proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada.
  Akomodasi : proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru.
  Equilibrasi : penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap satu debfab tahap lainnya yang secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Oleh karena itu guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya.
Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Dalam bab sebelumnya telah dikemukan tentang aspek aspek perkembangan kognitif menurut Piaget yaitu tahap (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan  (4) formal operational.  Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru.  Guru  hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
 Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.  Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.   Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.   Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.  Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.  Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.



C.  Ausubel
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian  dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Advanced organizer memberikan tiga manfaat yaitu :
-      Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari.
-      Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari.
-      Dapat membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.

D.  Bruner
Sementara Bruner mengusulkan teori yang disebutnya free discovery learning. Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan  kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan termasuk konsep, teori, ide, definisi dan  sebagainya melalui contoh-contoh yang menggambarkan atau mewakili aturan yang menjadi  sumbernya.
Keuntungan belajar menemukan  :
Menimbulkan rasa ingin tahu siswa sehingga dapat memotivasi siswa untuk menemukan jawabannya.
Menimbulkan keterampilan memecahkan masalahnya secara mandiri dan mengharuskan siswa  untuk menganalisis dan memanipulasi informasi.
Teori-teori kognitif ini juga sarat akan kritik terutama konsep Piaget karena sulit di terapkan  ditingkat lanjut. Selain itu beberapa konsep tertentu, seperti intelegensi, belajar dan pengetahuan  yang  mendasari teori ini sukar dipahami dan pemahaman itu sendiripun belum tuntas.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI BELAJAR KOGNITIVISTIK

KELEBIHAN
1. menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri.
2. membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah

KEKURANGAN
1. teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.
2. sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut.
3. beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.

2.4  Teori Belajar Humanistik dan Penerapannya

Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses  belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya,  bukan  dari  sudut  pandang  pengamatnya.
       Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
Proses pemerolehan informasi baru, Personalia informasi ini pada individu. Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow, Bloom dan Krathwohl, Kolb, Honey dan Mumford, Habermas, dan Carl Rogers.

a. Arthur Combs (1912-1999)
       Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
       Untuk itu guru harus memahami  perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa akan belajar  apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa  untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya  dengan kehidupannya. Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang  seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran  dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu  dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakun ya. Jadi, hal-hal yang  mempunyai sedikit  hubungan  dengan diri,  makin  mudah hal itu terlupakan.

b. Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal  :
(1)  suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2)  kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan  yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk  berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di  sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih  maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah  kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs)  manusia  menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan  kebutuhan  yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman  dan  seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan  bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum  terpenuhi.

c.  Bloom dan Krathwohl  
Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai oleh siswa tercakup dalam tiga kawasan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor.

d.  Kolb
Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap yaitu  :
-        Pengalaman konkret : pada tahap dini seseorang hanya mampu ikut mengalami suatu kejadian. inilah terjadi tahap awal proses pembelajaran.
-        Pengalaman aktif dan reflektif : siswa lambat laun melakukan pengamatan aktif terhadap kejadian  itu, dan mulai berusaha memikirkan serta memahaminya.
-        Konseptualisasi : siswa mulai belajar membuat abstrak atau teori tentang hal yang pernah                                                          diamatinya.
-        Eksperimentasi aktif : siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu autran umum ke situasi yang baru.

e.   Honey dan Mumford
       Honey dan Mumford menggolongkan siswa atas empat tipe yaitu  :
-        Siswa tipe aktivis : mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman baru, cenderung berpikir  terbuka dan mudah diajak dialog.
-        Siswa tipe reflektor : tipe ini cenderung berhati-hati dalam mengambil langkah.
dalam pengambilan keputusan cenderung konservatif.
-        Siswa tipe teoris : biasanya sangat kritis, suka menganalisis, dan tidak menyukai
pendapat yang bersifat subjektif.
-        Siswa tipe pragmatis : menaruh p[erhatian besar pada hal yang bersifat  praktis dalam
segala hal, tidak suka bertele-tele membahas aspek teoritis-filosofis dari sesuatu hal.

f.  Habermas
Habermas membagi tipe belajatr mebnjadi tiga bagian yaitu  :
-        Teaching learning (belajar  teknik) : siswa belajar berinteraksi dengan alam sekelilingnya.
-        Practical learning  (belajar  p[raktis) : siswa belajar berinteraksi dengan orang sekelilingnya.
-        Emanciipatory learning  belajar  emansipator) : siswa berusaha mencapai suatu
pemahaman yang sebaik mungkin tentang perubahan kultural dari suatu lingkungan.

g.  Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar  Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk  mencegah kekerasan pada anak. Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia  menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan
konsep Client-Centerd  Therapy. 
Rogers  membedakan  dua  tipe  belajar,  yaitu:
1.  Kognitif  (keber maknaan)
2.  experiential  (  pengalaman  atau  signifikansi)
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa.
Kualitas belajar experiential learning  mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak
harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian
bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
3. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai  bagian yang bermakna bagi siswa.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses. 

Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya ialah  :
a. Manusia itu mempun yai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai
   relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap
   mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
   diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan
   berbagai cara  yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
   bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun
   intelek,  merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai
  terutama jika  siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan
  penilaian dari orang lain  merupakan cara kedua yang penting.
j. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar  mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan  penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu. Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh  Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan  kondidi  yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.

Ciri-ciri guru yang fasilitatif  adalah  :
1.  Merespon perasaan siswa
2.  Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3.  Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4.  Menghargai siswa
5.  Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6.  Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan
    segera dari siswa)
7.  Tersenyum pada siswa

         Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan  angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran  bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan  disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.




Implikasi  Teori  Belajar  Humanistik

a. Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini  merupakan  ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
1.     Fasilitator sebaikn ya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok,  atau pengalaman kelas
2.     Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam  kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.  Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
    tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
    tersembunyi di  dalam belajar yang bermakna tadi.
4.  Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan  mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.  Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
    dimanfaatkan oleh kelompok. 
6.  Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima
    baik isi  yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
    menanggapi dengan cara  yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan  sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan  pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya  dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi  yang  boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9.  Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya
    perasaan yang  dalam dan kuat selama belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk
    menganali dan  menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
 Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
 Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
 pembelajaran yang  mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam   pembelajaran humanistik adalah  menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai  makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan  mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.

        Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman  belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya  secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran  ebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang  umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur
   dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif
   sendiri
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara
   mandiri
5. Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
   melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang  bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahansikap, dan analisis terhadap fenomena  sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang  bergairah, berinisiatif  dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh  pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau  melanggar aturan , norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Sumber:
1.  Psikologi Belajar: Dr. Mulyati, M.Pd
2.  Psikologi Belajar: Drs. H. Abu Ahmadi dan Drs. Widodo Supriyono
3.  Psikologi Pendidikan: Sugihartono,dkk
4.  Psikologi Pendidikan: Rochman Natawidjaya dan Moein Moesa
5. Landasan Kependidikan: Prof. Dr. Made Pidarta


KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI BELAJAR HUMANISTIK

KELEBIHAN                                                           
1.   Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan  kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
2.   Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam  belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
3.   Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan  mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain  atau  melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.

KEKURANGAN                                                        
1.     Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses
belajar.
2.     Siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses
belajar.


2.5 Teori Belajar Konstruktivistik dan Penerapannya

Hakikat Pembelajaran Konstruktivisme
       Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan  struktur-struktur  kognitif  dalam  interaksinya  dengan  lingkungan. Dengan bantuan struktur  kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh  realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur  kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme  yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif  mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus  bertanggung  jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu  dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri  dalam kehidupan kognitif siswa.
     Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan  berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian  dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si
pendidik  melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: 
(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, 
(2) mengutamakan proses, 
(3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, 
(4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman
(Pranata,  http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).

     Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa  pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.  Belajar  dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan  refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si  belajar termotivasi dalam  menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan  memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan  perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

Aspek-aspek  Pembelajaran  Konstruktivistik
     Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu  adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun  pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalampikirannya. Asimilasi  dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian  atau  rangsangan baru dalam skema yang telah ada.
     Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian  skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam  mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu  berkembang. Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman  yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan  demikian orang akan mengadakan akomodasi Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru  yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga  cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan  adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan  itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau  munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus  tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi  bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada  sebelumnya.
     Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai  scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan  selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan  memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat  berupa  petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa  dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu
(1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik,
(2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan,
(3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing  siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian  siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
       Konstruktivisme Vygotskian  memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif  antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu  equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri  internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan  pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

 Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah:
(1)  mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses
pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, 
(2)  zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong   dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.

        Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural.  Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari  pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky,  funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks  budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas  yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development  adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai  kemampuan  memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan  sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya  yang lebih mampu Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social  dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah  dialog antar pribadi, dalam hal ini pembelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang  sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai  tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan  niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain.

Pandangan Konstruktivistik tentang belajar dan pembelajaran.
   Pembelajaran Konstruktivisme
  Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas, meskipun belum jelas terlihat.
Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.
John Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
  Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru, kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata peserta didik.
Beberapa aliran pembelajaran konstruktivisme:
Ø  Piaget
Pembelajaran konstruktivisme berdasarkan pemahaman Piaget, beranggapan bahwa: 1) gambaran mental seseorang dihasilkan pada saat berinteraksi dengan lingkungannya, 2) pengetahuan yang diterima oleh seseorang merupakan proses pembinaan diri dan pemaknaan, bukan internalisasi makna dari luar.
Konstrukstivisme personal
pembelajaran menurut konstruktivisme personal, memiliki beberapa anggapan (postulat), yaitu: 1) Set mental (idea) yang dimiliki peserta didik mempengaruhi panca indera dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap proses pembentukan pengetahuan, 2) Input yang diterima peserta didik tidak memiliki makna yang tetap, 3) peserta didik menyimpan input yang diterima tersebut ke dalam memorinya, 4) input yang tersimpan dalam memori tersebut dapat digunakan lagi untuk menguji input lain yang baru diterima, 5) peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang menjadi keputusannya.
Konstrukstivisme sosial
Konstruktivisme sosial beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik, merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: a) pengetahuan dibina oleh manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3) pembina pengetahuan personal adalah perantara sosial dan pembina pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5) interaksi sosial dengan yang lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan bawaan.
Konstrukstivisme radikal
Konstruktivisme radikal beranggapan bahwa: 1) kebenaran tidak diketahui secara mutlak, 2) pengetahuan saintifik hanya dapat diketahui dengan menggunakan instrumen yang tepat, 3) konsep yang terjadi adalah hasil yang diperoleh individu setelah melakukan ujicoba untuk menggambarkan pengalaman subjektif, 4) konsep akan berkembang dalam upaya penggambaran fungsi efektif tentang pengalaman subjektif.
Implikasi konstrukstivisme terhadap pembelajaran adalah: (1) Pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik, jika peserta didik tidak diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya; (2) Pada akhir proses pembelajaran, peserta didik memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya; (3) Untuk memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik harus bekerja sama dengan peserta didik yang lain; (4) Guru harus mengakui bahwa peserta didik membentuk dan menstruktur pengetahuannya berdasarkan modalitas belajar yang dimilikinya.
Konstruktivistik
Pengetahuan adalah nonobjective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Belajar  adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali  makna seta menghargai ketidakmenentuan. Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam  menginterpretasikannya. Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada  dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik. 
Pandangan Konstruktivistik tentang Tujuan  Pembelajaran  :
Ø  Konstruktivistik
-        Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari  keseluruhan kebagian.
-        Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.
-        Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
-        Pembelajaran menekankan pada proses.
Pandangan Konstruktivistik tentang Penataan Lingkungan Belajar:
Konstruktivistik
-        Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan, Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi  unsur  yang esensial dalam lingkungna belajar.
-        Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
-        Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang harus  memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Control belajar dipegang oleh si belajar.
Pandangan Konstruktivistik tentang evaluasi pembelajaran:
Konstruktivistik
-        Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan  terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.
-        Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu  jawaban benar Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan  tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam  konteks  nyata. Evaluasi  menekankan pada aketerampilan proses dalam kelompok. 

Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran  dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif  yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi  ini  dilakukan  dengan tes awal, interview.
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program  pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga, orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang  akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak  mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari.  Ungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan  gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap  konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi  yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring  pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi  ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang  gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta  untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu. (b)  konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila  ramalan  mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak  puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang  dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari  penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan  teman atau guru yang  pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual.  Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki  konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.


Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi  menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji  penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah  berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar  resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya  menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan  rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK

KELEBIHAN                                                           
1.     Berfikir alam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
2.     Faham : Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru,
mereka  akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3.     Ingat : Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih
lama  semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam     situasi  baru.
4.     Kemahiran sosial : Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru
dalam membina pengetahuan baru.
5.     Seronok : Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan
berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.

KEKURANGAN                                                        
1.     Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya  dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
2. lebih luas cakupan makna dan sulit dipahami.






                                                              










BAB III
PENUTUP


I.         KESIMPULAN

       Teori pembelajaran perspektif tujuan utama pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan teori belajar bersifat deskritif karena tujuan utama teori belajar adalah  menjelaskan proses belajar. Teori belajar prespektif menaruh perhatian pada hubungan antara  variable-variabel yang menentukan hasil belajar. Sedangkan teori pembelajaran deskriptif sebaliknya, teori ini menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Dengan kata lain teori pembelajaran berurusan dengan upaya mengontrol variable yang dispesifikasikan dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.
       Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian. Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oelh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
       Teori ini lebih menekankan kepada proses belajar daripada hasil belajar. Bagi yang menganut aliran kognitivistik belajar tidak hanya melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Menurut teori kognitivistik, ilmu pengetahuan dibangun didalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan denganlingkungan. Proses ini tidajk hanya berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah,  tetapi  melalui proses mengalir, bersambung dan menyeluruh. Menurut psikologi kognitif belajar dipandang sebagai usaha untuk mengerti sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu  dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, mencermati lingkungan, mempraktekkan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Para psikolog pendidikan kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukan keberhasilan mempelajari informasi atau pengetahuan yang baru.
Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses  belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya,  bukan  dari  sudut  pandang  pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka
      

       Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori petubahan konsep ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat kostruktivisme. Konstruktivisme yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep yang menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan sisiwa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan ilmuan. Konstrutivisme dan Teori Perubahan Konsep memberikan pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir pengembangan karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengrtian” dalam memahami sesuatu, menurut Teori Konstruktivisme dan teori Perubahan Konsep, bukanlah akhir dari segala-galanya melainkan justru menjadi awal untuk pengembangan yang lebih baik.




































Bentuk Teori Pembelajaran Deskriptif,
Behavioristik, Kognitivistik, Humanistik, dan
Konstruktivistik



Diajukan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah teori belajar dan konsep belajar
Dosen : Dr. N. CATHERINE SITOMPUL, M.Pd.



 








Dikerjakan oleh :
ARI SANJAYA, S.Pd
No. Reg: 10-002-0123




PROGRAM PASCASARJANA
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADIBUANA SURABAYA
Jalan Dukuh Menanggal XII Surabaya