Senin, 27 Februari 2012

WEB SERTIFIKASI GURU

Klik pada bagian tulisan "Peserta"

www.sergur.pusbangprodik.org. 


http://sergur.kemdiknas.go.id/

MODEL PEMBELAJARAN BERORIENTASI PADA SISWA

Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Siswa

 
 
 
 
 
 
9 Votes
6Oleh: Drs. H. Erman Suherman, M.Pd.
Dosen tetap pada FPMIPA Universitas Pendidikan
Indonesia di Bandung
Abstrak: Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di atas dapat terwujud, guru seyogianya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Model belajar akan membahas bagaimana cara siswa belajar, sedangkan model pembelajaran akan membahas tentang bagaimana cara membelajarkan siswa dengan berbagai variasinya sehingga terhindar dari rasa bosan dan tercipta suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.
Kata Kunci: model belajar, model pembelajaran, potensi siswa, kompetensi, life skill, suasana belajar

A. Pendahuluan

Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum 2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada RPP yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori. Guru masih dominan dan siswa resisten, guru masih menjadi pemain dan siswa penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri.
Demikian pula, pada pihak siswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa enjoy dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain dari karena kebiasaan yang sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa. Karena penghargaan terhadap profesi guru sangat minim, boro-boro sempat waktu untuk membaca buku yang aktual, mereka sangat sibuk untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan memang itu kewajiban utama, apalagi untuk membeli buku pembelajaran yang inovatif. Mereka bukan tidak mau meningkatkan kualitas pemebelajaran, tetapi situasi dan kondisi kurang memungkinkan. Permasalahannya adalah bagaimana mengubah kebiasaan prilaku guru dalam kelas, mengubah paradigma mengajar menjadi membelajarkan, sehingga misi KBK dapat terwujud. Dengan paradigma yang berubah, mudah-mudahan kebiasaan murid yang bersifat pasif sedikit demi sedikit akan berubah pula menjadi aktif.
Tulisan sederhana ini sengaja dibuat untuk para guru, yang saya hormati dan saya banggakan, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan, semoga dengan sajian sederhana ini dapat dijadikan bekal untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran, sehingga kualitas amal sholehnya melalui profesi guru menjadi meningkat pula. Tulisan ini membahas tentang kompetensi siswa sesuai tuntutan kurikulum untuk sekedar mengingatkan, model-model belajar agar memahami benar bagaimana siswa belajar yang efektif, dan model pembelajaran yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, materi, fasilitas, dan guru itu sendiri.

B. Kompetensi Siswa

Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia yang artinya setara dengan kemampuan atau pangabisa dalam bahasa Sunda. Siswa yang telah memiliki kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan lain, ia telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya, yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life skill). Inilah hakikat pembelajaran, yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki komptensi, kecakapan hidup. Dengan demikian belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami.
Kompetensi siswa yang harus dimilki selama proses dan sesudah pembelajaran adalah kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, pemecahan masalah), kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Istilah psikologi kontemporer, kompetensi / kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan profesional (akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill, yang berkontribusi terhadap sukses individu sebesar 40 % . Sedangkan kompetensi lainnya yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri disebut dengan soft skill, yang berkontribusi sukses individu sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan sekaligus peringatan bagi kita semua.

C. Model-model Belajar

Uraian berikut ini adalah untuk menjawab pertanyaan, bagaimana siswa belajar? Dengan memahami uraian ini, guru (kita) bisa menyesuaikan pelaksanaan pembelajaran dengan kondisi siswa. Bukankah pemberian harus diselaraskan dengan mereka yang akan menerima pemberian sehingga dapat bermanfaat secara optimal, dan tidak sebaliknya.
Model-model belajar yang dimaksud pada judul di atas adalah berbagai cara-gaya belajar siswa dalam aktivitas pembelajaran, baik di kelas ataupun dalam kehidupannya sehari-hari antar sesama temannya atau orang yang lebih tua. Dengan memahami model-model belajar ini, diharapkan para guru (kita semua) dapat membelajarkan siswa secara efisien sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.
Ada berbagai model belajar yang akan dibahas, yaitu:
1. Peta Pikiran
Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya. Demikian pula kata dalam pikiran kita terlintas FKIP Universitas Langlangbuana Bandung akan terkait alamatnya, pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besar penghargaan untuk perkuliahan per-sks. Silakan anda mencoba menuliskan / menggambarkan peta pikiran tentang Bajuri dan FKIP Unla di atas. Kalau dibuat narasinya akan ada perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda.
Dalam bidang studi keahlian anda, misalnya ambil satu materi dalam pelajaran Matematika, Akuntansi, Agama, atau yang lainnya. Silakan buat (tulis-gambar) peta pikiran yang terlintas kemudian narasikan secara lisan. Tulisan atau gambar peta pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep (concept map).
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis. Mengingat hal itu, sajian guru dalam pembelajaran harus pula dikondisikan berupa sajian peta konsep, guru membumbuinya dengan narasi yang kreatif.
Selanjutnya, Buzan mengemukakan bahwa kemampuan otak manusia dapat memproses informasi berupa bahasa sebanyak 600 – 800 kata permenit. Dengan kemampuan otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan komputer sangat tinggi. Jika benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap kesempatan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran diri dalam segala hal. Hanya sayang banyak orang yang mengabaikannya atau digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat untuk peningkatan kualitas diri, misalnya berangan-angan, menonton, mengobrol atau bercanda tanpa makna. Bagaimana dengan anda?.
2. Kecerdasan Ganda
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon).
Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahawa kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40% dipengaruhi oleh hal lainnya.
Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama ini.
Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda yang sifatnya mulkti dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual , Linguistic-verbal, Interpersonal-communication, Musical-rithmic, natural, Body-kinestic, Intrapersonal-reflective, Logic-thinking-reasoning.
3. Metakognitif
Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi.
Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi.
Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.
4. Komunikasi
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.
Perhatikan hasil penelitian Jack Canfield (1992), untuk kita simak dan renungkan, bahwa seorang anak ayang masih polos-natural, setiap hari biasa menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari oarng yang lebih tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih dominant dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak selanjutnya pada waktu bwersekolah, belajar menjadi beban dan rasa ercaya dirinya berkurang. Makin lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negative, seperti pesimis, m\udah menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, pembenaran, menimpakan kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang memiliki pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan memilih, punya alternative, partisipatidf, dan mau memperbaiki diri.
Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti irtu? Caranya anatar lain dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Mengapa demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.
5. Kebermaknaan Belajar
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang berarti bahwa belajar mempunya indikator berkata-pok (bertanya-menjawab-diskusi,presentasi). Mencoba-pek (menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan), dan melaksanakan-prak (mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan). Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.
Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, da belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%.
Drai uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukuop dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on, minds-on, konstruksivis, dan daily life (kontekstual).
6. Konstruksivisme
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).
7. Prinsip Belajar Aktif
Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan.
Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukan-mengkomunikasikan sehingga kecerdasan emosionalnya dapat berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok,diskusi, presentasi, tanya-jawab, sehingga terpuku rasa tanggung jawab dan disiplin diri.
Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) adalah memiliki indikatro mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik, aksionmatik), empiristic (pngelaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri, melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.

D. Model-model Pembelajaran

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kjondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.
1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.
2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif – nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).
3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).
4. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).
5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dap[at berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, atau algoritma). Sintaknya adalah: sajiakn permasalah yang memenuhi criteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau atuiran yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.
7. Problem Posing
Bentuk lain dari problem posing adaslah problem posing, yaitu pemecahan masalah dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.
8. Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjtynya siswa juda diinta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Denga demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentiuk pola piker, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.
Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitakkan dengan materui selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).
Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat reson siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.
9. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan engetahuan sisap siswa dan engalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa memngkonstruksiu konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari prses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi sausana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mngurang kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi
10. Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan rasyarat, eksplnasi berarti menghenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.
11. Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mwengemukan bhawa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.
Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.
12. SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indar yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan mennaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahawa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) nbelajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.
13. TGT (Teams Games Tournament)
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.
Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:
a. Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b. Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.
c. Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.
Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.
e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.
14. VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)
Model pebelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.
15. AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalama, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.
16. TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.
17. STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah sati model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.
18. NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.
19. Jigsaw
Model pembeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks sepeerti berikut ini. Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tuiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok aasal, pelaksnaa tutorial pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
20. TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
21. GI (Group Investigation)
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
22. MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi
23. CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.
24. TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.
25. TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.
26. CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)
Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.
27. SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)
Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (cartat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh
28. SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)
SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.
29. MID (Meaningful Instructionnal Design)
Model ini adalah pembnelajaran yang mengutyamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaan belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep
30. KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.
31. CRI (Certainly of Response Index)
CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.
32. DLPS (Double Loop Problem Solving)
DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap uyang menyebabkan munculnya masalah tersebut.
Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesdai maslah sebagai berikurt: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasui kausal, imoplementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.
33. DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)
DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengemabangan, penerapan, dan penutup.
34. CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)
Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.
35. IOC (Inside Outside Circle)
IOC adalah mode pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan ssingkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separu dari sjumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkran luar berputar keudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya
36. Tari Bambu
Model pembelajaran ini memberuikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukartan pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depoan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa opertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalkaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satui jajaran pindah ke ujunug lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.
37. Artikulasi
Artikulasi adlah mode pembelajaran dengan sintaks: penyampaian konpetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.
38. Debate
Debat adalah model pembalajaranb dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu setrusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.
39. Role Playing
Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan scenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari scenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan scenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penimpoulan dan refleksi.
40. Talking Stick
Suintak p[embelajana ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa mebaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepad siswa lain dan guru memberikan petanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.
Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyuimpulan, refleksi dan evaluasi
42. Student Facilitator and Explaining
Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi, refleksi.
43. Course Review Horay
Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk pemantapan, siswa atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke dalam kotak, guru membacakan soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan guru berhak menjawab jika jawaban benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore atau yang lainnya, pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
44. Demonstration
Pembelajaran ini khusu untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
45. Explicit Instruction
Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-prosedural, langkah demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi kompetensi, mendemontrasikan pengetahuan dan ketrampilan procedural, membimbing pelatihan-penerapan, mengecek pemahaman dan balikan, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
46. Scramble
Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban dengan diacak nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan kartu jawaban, siswa berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok.
47. Pair Checks
Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan temannya mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
48. Make-A Match
Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk badak berikutnya pembelajaran seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
49. Mind Mapping
Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal siswa. Sintaknya adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk menanggapi dan membuat berbagai alternatiu jawababn, presentasi hasuil diskusi kelompok, siswa membuat kesimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.
50. Examples Non Examples
Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi, sajikan gambar ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati sajian, diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, valuasi dan refleksi.
51. Picture and Picture
Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan dengan materi, siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru mengkonfirmasi urutan gambar tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.
52. Cooperative Script
Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa mempelajari wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang dan yang lain menanggapi, bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.
53. LAPS-Heuristik
Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bertisfat tuntunan dalam rangaka solusi masalah. LAPS ( Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa masalahnya, adakah alternative, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan pengecekan.
54. Improve
Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication, Enrichment. Sintaknya adalah sajian pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa latian dan bertanya, balikan-perbnaikan-pengayaan-interaksi.
55. Generatif
Basi gneratif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan ide-konsep awal, tantangan dan restruturisasi sajiankonsep, aplikasi, ranguman, evaluasi, dan refleksi
56. Circuit Learning
Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan dengan pola bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar kondusif dan focus, siswa membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan refleksi
57. Complete Sentence
Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintakas: sisapkan blanko isian berupa aparagraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi, siswa ditugaskan membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan berupa paragraph yang kaliatnya belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi, presentasi.
58. Concept Sentence
Prosedurnya adalah penyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok heterogen, guru menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tia kelompok membeuat kalimat berdasarkankata kunci, presentasi.
59. Time Token
Model ini digunakan (Arebds, 1998) untuk melatih dan mengembangkan ketrampilan sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), siswa berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.
60. Take and Give
Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu dengan yang berisi nama siswa – bahan belajar – dan nama yang diberi, informasikan kompetensi, sajian materi, pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan mencari teman dan saling informasi tentang materi atau pendalaman-perluasannya kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan seterusnya dengan siswa lain secara bergantian, evaluasi dan refleksi
61. Superitem
Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-bertahap dari simpel ke kompleks, berupa opemecahan masalah. Sintaksnya adalah ilustrasikan konsep konkret dan gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat, berikan sal tes bentuk super item, yaitu mulai dari mengolah informasi-koneksi informasi, integrasi, dan hipotesis.
62. Hibrid
Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-inkuiri-solusi-workshop, virtual workshop menggunakan computer-internet.
63. Treffinger
Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks: keterbukaan-urun ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.
64. Kumon
Pembelajaran dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan, tiap siswa selesai tugas langsung diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali salah guru membimbing.
65. Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.
Rumus quantum fisika asdalah E = mc2, dengan E = energi yang diartikan sukses, m = massa yaitu potensi diri (akal-rasa-fisik-religi), c = communication, optimalkan komunikasi + dengan aktivitas optimal.

E. Penutup

Kehidupan akan terasa indah ap[abila ada variasi, sebaliknya akan terasa membosankan jika segalanya monoton tak berubah. Perubahan kea rah perbaikan adalah tuntutan alamiah yang menjadi kebutuhan setiap insane dalam setiap kehidupan.
Manusia telah dibekali akal dan rasa untuk berkreasi, menciptakan inovasi, agar segalanya berubah ke arah yang lebih baik dengan ikhtiar mulai dari diri sendiri. Begitu pulal dalam pembelajaran, penciptaan suasan kondusif perlu dilakukan, karena unsur rasa dalam berpikir selalu turut serta dan tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu penciptaan suasana kondusif perlu dilakukan sehingga dalam belajar siswa tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut dalam berpartisipasi, tidak lagi dirasakan sebagai kewajiban, melainkan memnjadi kesadaran dan kebutuhan, dalam suasana perasaan yang nyaman dan menyenangkan.
Salah satu cara untuk menciptakan suasan yang nyaman dan menyenangkan sert terhndar dari kevbiosanan adalah dengan memahami dan melaksanakan model belajar yang dilakukan siswa, komunikasi positif yang efektif, dan model pembelajaran yang inovatif. Semoga.

Daftar Pustaka

Ary Ginanjar Agustian (2002). Emotional Spritual Quotient (ESQ). Jakarta: Arga.
Burton, L (1993). The Constructivist Classroom Education in Profile. Perth: Edith Cowan University.
Buzan, Tony (1989). Use Both Sides of Yoru Brain, 3rd ed. New York: Penguin Books.
Cord (2001). What is Contextual Learning. WWI Publishing Texas: Waco.
De Porter, Bobbi (1992). Quantum Learning. New York: Dell Publishing.
Ditdik SLTP (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL). Jakarta.:Depdiknas.
Erman, S.Ar., dkk. (2002). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-FPMIPA.
Gardner, Howard (1985). Frame of Mind: The Theory of Multiple Ilntelligences. New York: Basic Bools.
Goleman, Daniel (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
Sumber: Educare: Jurnal Pendidikan dan Budaya, Vol. 5, No. 2

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIV 2

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIV

DOWNLOAD KUNG PERKUTUT

Klik pada Icon Download
 http://www.4shared.com/get/7jb_wEJF/burung_perkutut.html

http://usrex.blogspot.com/2010/04/download-mp3-suara-burung-perkutut.html

http://www.filestube.com/d/download+perkutut+mp3

Minggu, 26 Februari 2012

NUPTK UNTUK KAB.KOTA-JATIM

Klik pada Klik di sini ( Link web )

KARYA TULIS ILMIAH (KTI)

PENILAIAN HASIL BELAJAR UNTUK SD

PENILAIAN HASIL BELAJAR UNTUK SMP

PENILAIAN UNJUK KERJA

RANAH PENILAIAN KOGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTORIK

Klik aja ....!

RANAH PENGEMBANGAN PENILAIAN AFEKTIF

PENILAIAN AFEKTIF 2

PENILAIAN AFEKTIF

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tuntutan penerapan kurikulum berbasis kompetensi mencakup tiga ranah, yaitu kemampuan berpikir, keterampilan melakukan  pekerjaan, dan perilaku. Setiap peserta didik memiliki potensi pada ketiga ranah tersebut, namun tingkatannya satu sama lain  berbeda. Ada peserta didik yang memiliki kemampuan  berpikir tinggi dan perilaku amat baik, namun keterampilannya rendah. Demikian sebaliknya ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir rendah, namun memiliki keterampilan yang  tinggi dan perilaku amat baik. Ada pula peserta didik yang kemampuan berpikir dan keterampilannya sedang/biasa, tapi memiliki perilaku baik. Jarang sekali peserta didik yang  kemampuan berpikirnya rendah, keterampilan rendah, dan perilaku kurang baik. Peserta didik  seperti  itu akan  mengalami kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat, karena tidak memiliki potensi untuk hidup di masyarakat. Ini menunjukkan keadilan    Tuhan YME, setiap manusia memiliki  potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat.

Kemampuan    berpikir    merupakan    ranah    kognitif    yang    meliputi    kemampuan menghapal,     memahami,        menerapkan,        menganalisis,        mensintesis,    dan mengevaluasi.  Kemampuan psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan gerak,  menggunakan otot    seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar  dan   memasang  peralatan,  dan  sebagainya.  Kemampuan  afektif berhubungan  dengan  minat  dan  sikap  yang  dapat  berbentuk  tanggung  jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri,  jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua  kemampuan  ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai  melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.

Masalah  afektif  dirasakan  penting  oleh  semua  orang,  namun  implementasinya masih kurang.  Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif  tidak  semudah  seperti  pembelajaran  kognitif  dan  psikomotor.  Satuan pendidikan  harus  merancang  kegiatan  pembelajaran  yang  tepat  agar  tujuan pembelajaran    afektif    dapat    dicapai.    Keberhasilan    pendidik    melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan  pengembangan perangkat penilaian ranah afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.

B. Tujuan

Buku pengembangan perangkat penilaian afektif ini disusun agar pendidik:
1.    memiliki kesamaan pemahaman mengenai ranah afektif dan cara penilaiannya
2.    mampu mengembangkan perangkat penilaian afektif

C. Ruang Lingkup

Buku ini berisi tentang hakikat penilaian afektif dan pengembangan perangkat penilaian afektif.



BAB II
PENILAIAN RANAH AFEKTIF



A.  Hakikat Pembelajaran Afektif

Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Andersen (1981) sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara  yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan  dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah  tersebut  merupakan  karakteristik  manusia  sebagai  hasil  belajar  dalam bidang pendidikan.

Menurut    Popham    (1995),    ranah    afektif    menentukan    keberhasilan    belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai  keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang    berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh  karena  itu  semua  pendidik  harus  mampu  membangkitkan  minat  semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.

Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif  terhadap  pelajaran  akan  merasa  senang  mempelajari  mata  pelajaran tertentu, sehingga    dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak  tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat  peserta didik. Oleh karena itu  untuk  mencapai  hasil  belajar  yang  optimal,  dalam  merancang  program pembelajaran  dan  kegiatan  pembelajaran  bagi  peserta  didik,  pendidik  harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik.



B.  Tingkatan Ranah Afektif

Menurut Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen    afektif.    Dalam    pembelajaran    sains,    misalnya,    di    dalamnya    ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif  menurut  taksonomi  Krathwohl  ada  lima,  yaitu:  receiving  (attending), responding, valuing, organization, dan characterization.

1.  Tingkat receiving

Pada  tingkat  receiving  atau  attending,  peserta  didik  memiliki  keinginan memperhatikan    suatu    fenomena    khusus    atau    stimulus,    misalnya    kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta  didik  pada  fenomena  yang  menjadi  objek  pembelajaran  afektif. Misalnya  pendidik  mengarahkan  peserta  didik  agar  senang  membaca  buku,



senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.

2.  Tingkat responding

Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada  pemerolehan  respons,  berkeinginan  memberi  respons,  atau  kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi  pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan  kesenangan pada aktivitas khusus.  Misalnya  senang    membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.

3.  Tingkat valuing

Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat  komitmen.  Valuing  atau  penilaian  berbasis  pada  internalisasi  dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar  pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.

4.  Tingkat organization

Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup.

5.  Tingkat characterization

Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.



C. Karakteristik Ranah Afektif

Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah  afektif  (Andersen,  1981:4).  Pertama,  perilaku  melibatkan  perasaan  dan emosi seseorang. Kedua,  perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang  termasuk  ranah  afektif  adalah  intensitas,  arah,  dan  target.  Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan.  Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka.  Sebagian orang kemungkinan  memiliki  perasaan  yang  lebih  kuat  dibanding  yang  lain.  Arah perasaan  berkaitan  dengan  orientasi  positif  atau  negatif  dari  perasaan  yang menunjukkan   apakah  perasaan  itu  baik  atau  buruk.  Misalnya  senang  pada pelajaran dimaknai positif,  sedang kecemasan dimaknai negatif.    Bila intensitas dan  arah  perasaan  ditinjau  bersama-sama,  maka  karakteristik  afektif  berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide



sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau,  ada  beberapa  kemungkinan  target.  Peserta  didik  mungkin  bereaksi terhadap sekolah,  matematika,  situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target dari  kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target kecemasannya adalah tes.

Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.

1.    Sikap

Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan  yang  ingin  dicapai,  keteguhan,  dan  konsistensi  terhadap  sesuatu. Penilaian  sikap  adalah  penilaian  yang  dilakukan  untuk  mengetahui  sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.

Menurut  Fishbein  dan  Ajzen  (1975)  sikap  adalah  suatu  predisposisi  yang dipelajari  untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi,  konsep,  atau  orang.  Sikap  peserta  didik  terhadap  objek  misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting  untuk  ditingkatkan  (Popham,  1999).  Sikap  peserta  didik  terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah  peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran.  Perubahan  ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran.  Untuk itu pendidik harus membuat rencana  pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta  didik  terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.

2.    Minat

Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman  yang  mendorong  seseorang  untuk  memperoleh  objek  khusus, aktivitas,    pemahaman,    dan    keterampilan    untuk    tujuan    perhatian    atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat  adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.

Penilaian minat dapat digunakan untuk:
a. mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b. mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c. pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik, d.  menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
e. mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,



f.  acuan dalam menilai    kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
g. mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h. bahan pertimbangan menentukan program sekolah, i.   meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

3.    Konsep Diri

Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah.  Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.

Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan   mengetahui  kekuatan  dan  kelemahan  diri  sendiri,  dapat  dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi  konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.

Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut.
•    Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
•    Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
•    Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
•    Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
•    Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
•    Dapat  digunakan  untuk  acuan  menyusun  bahan  ajar  dan  mengetahui standar input peserta didik.
•    Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
•    Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
•    Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
•    Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
•    Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
•    Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.
•    Mempermudah  pendidik  untuk  melaksanakan  remedial,  hasilnya  dapat untuk instropeksi pembelajaran yang dilakukan.
•    Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
•    Peserta didik mampu menilai dirinya.
•    Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
•    Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.

4.    Nilai

Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan,   atau   perilaku  yang  dianggap  baik  dan  yang  dianggap  buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau  situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.



Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti  sikap  dan  perilaku.  Arah  nilai  dapat  positif  dan  dapat  negatif. Selanjutnya intensitas nilai  dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.

Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu  objek,   aktivitas,  atau  ide    yang  dinyatakan  oleh  individu  dalam mengarahkan  minat,  sikap,  dan  kepuasan.  Selanjutnya  dijelaskan  bahwa manusia belajar menilai suatu objek,  aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya  satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang    bermakna    dan    signifikan    bagi    peserta    didik    untuk    memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.

5.    Moral

Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan  moral.  Ia   hanya  mempelajari  prinsip  moral  seseorang  melalui penafsiran respon verbal terhadap  dilema hipotetikal atau  dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.

Moral  berkaitan  dengan  perasaan  salah  atau  benar  terhadap  kebahagiaan orang  lain  atau  perasaan  terhadap  tindakan  yang  dilakukan  diri  sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.

Ranah afektif lain yang penting adalah:
•    Kejujuran:  peserta  didik  harus  belajar  menghargai  kejujuran    dalam berinteraksi dengan orang lain.
•    Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik.
•    Adil:  peserta  didik  harus  berpendapat  bahwa  semua  orang  mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
•    Kebebasan:  peserta  didik  harus  yakin  bahwa  negara  yang  demokratis memberi  kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada
semua orang.



BAB III
PENGEMBANGAN PERANGKAT PENILAIAN AFEKTIF



A.  Pengukuran Ranah Afektif

Dalam memilih karakterisitik afektif untuk pengukuran, para pengelola pendidikan harus  mempertimbangkan rasional teoritis dan program sekolah. Masalah yang timbul adalah  bagaimana ranah afektif akan diukur. Isi dan validitas konstruk ranah afektif tergantung pada definisi operasional yang secara langsung mengikuti definisi konseptual.

Menurut Andersen (1980) ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah  afektif,  yaitu  metode  observasi  dan  metode  laporan  diri.  Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan dan/atau reaksi psikologi. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri.

Menurut Lewin (dalam Andersen, 1980), perilaku seseorang merupakan fungsi dari watak   (kognitif,   afektif,  dan  psikomotor)  dan  karakteristik  lingkungan  saat perilaku atau  perbuatan  ditampilkan.  Jadi tindakan  atau perbuatan  seseorang ditentukan oleh watak dirinya dan kondisi lingkungan.



B.  Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif

Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap, minat, konsep diri, nilai,  dan  moral.  Ada  11  (sebelas)  langkah  dalam  mengembangkan  instrumen penilaian afektif, yaitu:

1.    menentukan spesifikasi instrumen
2.    menulis instrumen
3.    menentukan skala instrumen
4.    menentukan pedoman penskoran
5.    menelaah  instrumen
6.    merakit instrumen
7.    melakukan ujicoba
8.    menganalisis hasil ujicoba
9.    memperbaiki instrumen
10. melaksanakan pengukuran
11. menafsirkan hasil pengukuran

1.    Spesifikasi instrumen

Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah afektif, yaitu instrumen (1) sikap, (2) minat, (3) konsep diri, (4) nilai, dan (5) moral.



a.  Instrumen sikap
Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu    objek,    misalnya    terhadap    kegiatan    sekolah,    mata    pelajaran, pendidik, dan sebagainya. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif bisa negatif.  Hasil  pengukuran   sikap  berguna  untuk  menentukan  strategi pembelajaran yang tepat.

b. Instrumen minat
Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk
meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran.

c.  Instrumen konsep diri
Instrumen    konsep    diri    bertujuan    untuk     mengetahui    kekuatan    dan kelemahan diri sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap  potensi yang ada dalam dirinya. Karakteristik potensi peserta didik    sangat    penting   untuk    menentukan    jenjang    karirnya.  Informasi kekuatan  dan   kelemahan  peserta  didik  digunakan  untuk  menentukan
program yang sebaiknya ditempuh.

d. Instrumen nilai
Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang    positif dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.

e. Instrumen moral
Instrumen  moral  bertujuan  untuk  mengungkap  moral.  Informasi  moral seseorang    diperoleh    melalui    pengamatan        terhadap        perbuatan      yang ditampilkan        dan     laporan    diri    melalui    pengisian    kuesioner.     Hasil pengamatan     dan    hasil    kuesioner    menjadi      informasi        tentang    moral seseorang.

Dalam menyusun spesifikasi instrumen perlu memperhatikan empat hal yaitu (1)  tujuan   pengukuran,  (2)  kisi-kisi  instrumen,  (3)  bentuk  dan  format instrumen, dan (4) panjang instrumen.

Setelah menetapkan tujuan pengukuran afektif, kegiatan berikutnya adalah menyusun  kisi-kisi instrumen.  Kisi-kisi (blue-print), merupakan matrik  yang berisi    spesifikasi        instrumen    yang  akan    ditulis.  Langkah    pertama  dalam menentukan kisi-kisi adalah  menentukan definisi konseptual yang berasal dari teori-teori yang diambil dari buku teks. Selanjutnya mengembangkan definisi operasional  berdasarkan  kompetensi  dasar,  yaitu  kompetensi  yang  dapat diukur.        Definisi    operasional     ini    kemudian    dijabarkan    menjadi    sejumlah indikator.  Indikator  merupakan  pedoman  dalam  menulis  instrumen.  Tiap indikator bisa dikembangkan dua atau lebih instrumen.



2.    Penulisan instrumen

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Afektif


No   
Indikator    Jumlah
butir   
Pertanyaan/Pernyataan   
Skala
1               
2               
3               
4               
5               

Penilaian    ranah    afektif    peserta    didik    dilakukan    dengan    menggunakan instrumen penilaian afektif sebagai berikut.

a.  Instrumen sikap
Definisi  konseptual:  Sikap  merupakan  kecenderungan  merespon  secara konsisten baik menyukai atau tidak menyukai  suatu objek. Instrumen sikap bertujuan untuk  mengetahui  sikap peserta didik terhadap suatu objek,
misalnya    kegiatan    sekolah.    Sikap    bisa    positif    bisa    negatif.    Definisi operasional: sikap adalah  perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek. Objek bisa berupa kegiatan atau mata pelajaran. Cara yang mudah untuk mengetahui sikap peserta didik adalah melalui kuesioner.

Pertanyaan tentang sikap meminta responden menunjukkan perasaan yang positif atau negatif terhadap suatu objek, atau suatu kebijakan. Kata-kata yang sering digunakan  pada pertanyaan sikap menyatakan arah perasaan seseorang; menerima-menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baik-buruk, diingini-tidak diingini.

Contoh indikator sikap terhadap mata pelajaran matematika misalnya.
    Membaca buku  matematika
    Mempelajari matematika
    Melakukan interaksi dengan guru matematika
    Mengerjakan tugas matematika
    Melakukan diskusi tentang matematika
    Memiliki buku matematika


Contoh pernyataan untuk kuesioner:
    Saya senang membaca buku matematika
    Tidak semua orang harus belajar matematika
    Saya jarang bertanya pada guru tentang pelajaran matematika
    Saya tidak senang pada tugas pelajaran matematika
    Saya berusaha mengerjakan soal-soal matematika sebaik-baiknya
    Memiliki buku matematika penting untuk semua peserta didik

b.  Instrumen minat

Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik  terhadap suatu mata pelajaran yang selanjutnya digunakan untuk    meningkatkan    minat    peserta    didik    terhadap    mata    pelajaran



tersebut. Definisi konseptual: Minat adalah keinginan yang tersusun melalui pengalaman  yang mendorong individu mencari objek, aktivitas, konsep, dan keterampilan untuk tujuan mendapatkan perhatian atau penguasaan. Definisi    operasional:    Minat    adalah    keingintahuan    seseorang    tentang keadaan suatu objek.

Contoh indikator minat terhadap pelajaran matematika:
    Memiliki catatan pelajaran matematika.
    Berusaha memahami matematika
    Memiliki buku matematika
    Mengikuti pelajaran matematika

Contoh pernyataan untuk kuesioner:
•    Catatan pelajaran matematika saya lengkap
•    Catatan pelajaran matematika saya terdapat coretan-coretan tentang hal-hal yang penting
•    Saya    selalu    menyiapkan    pertanyaan    sebelum    mengikuti    pelajaran matematika
•    Saya berusaha memahami mata pelajaran matematika
•    Saya senang mengerjakan soal matematika.
•    Saya berusaha selalu hadir pada pelajaran matematika c.   Instrumen konsep diri
Instrumen    konsep    diri    bertujuan    untuk    mengetahui    kekuatan    dan
kelemahan diri sendiri. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan  untuk  menentukan  program  yang  sebaiknya  ditempuh  oleh peserta didik.

Definisi konsep: konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri    yang    menyangkut    keunggulan    dan    kelemahannya.    Definisi operasional konsep diri adalah pernyataan tentang kemampuan diri sendiri yang menyangkut mata pelajaran.

Contoh indikator konsep diri:
    Memilih mata pelajaran yang mudah dipahami
    Memiliki kecepatan memahami mata pelajaran
    Menunjukkan mata pelajaran yang dirasa sulit
    Mengukur kekuatan dan kelemahan fisik

Contoh pernyataan untuk instrumen:
    Saya sulit mengikuti pelajaran matematika
    Saya mudah memahami bahasa Inggris
    Saya mudah menghapal suatu konsep.
    Saya mampu membuat karangan yang baik
    Saya merasa sulit mengikuti pelajaran fisika
    Saya bisa bermain sepak bola dengan baik
    Saya mampu membuat karya seni yang baik
    Saya perlu waktu yang lama untuk memahami pelajaran fisika.



d.  Instrumen nilai

Nilai merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi peserta didik.  Kegiatan  yang disenangi peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh nilai  (value)  peserta  didik  terhadap  kegiatan  tersebut.  Misalnya,  ada peserta didik yang menyukai pelajaran keterampilan dan ada yang tidak, ada yang menyukai pelajaran seni tari  dan  ada yang tidak. Semua ini dipengaruhi oleh nilai peserta didik, yaitu yang berkaitan dengan penilaian baik dan buruk.

Nilai seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagaimana ia berbuat atau  keinginan  berbuat.  Nilai  berkaitan  dengan  keyakinan,  sikap  dan aktivitas atau  tindakan seseorang. Tindakan seseorang terhadap sesuatu merupakan refleksi dari nilai yang dianutnya.

Definisi  konseptual:  Nilai  adalah  keyakinan  terhadap  suatu  pendapat, kegiatan, atau objek. Definisi operasional nilai adalah keyakinan seseorang tentang  keadaan  suatu  objek  atau  kegiatan.  Misalnya  keyakinan  akan kemampuan  peserta  didik  dan   kinerja   guru.  Kemungkinan  ada  yang berkeyakinan bahwa prestasi peserta didik sulit ditingkatkan atau ada yang berkeyakinan bahwa guru sulit melakukan perubahan.

Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan individu. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang  positif dan  yang negatif. Hal-hal yang  positif ditingkatkan sedang yang negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.

Contoh indikator nilai adalah:
    Memiliki keyakinan akan peran sekolah
    Menyakini keberhasilan peserta didik
    Menunjukkan keyakinan atas kemampuan guru.
    Mempertahankan keyakinan akan harapan masyarakat

Contoh pernyataan untuk kuesioner tentang nilai peserta didik:
•    Saya  berkeyakinan  bahwa  prestasi belajar  peserta didik  sulit untuk ditingkatkan.
•    Saya berkeyakinan bahwa kinerja pendidik sudah maksimal.
•    Saya  berkeyakinan  bahwa  peserta  didik  yang  ikut  bimbingan  tes cenderung akan diterima di perguruan tinggi.
•    Saya  berkeyakinan  sekolah  tidak  akan  mampu  mengubah  tingkat kesejahteraan masyarakat.
•    Saya berkeyakinan bahwa perubahan selalu membawa masalah.
•    Saya berkeyakinan bahwa hasil yang dicapai peserta didik adalah  atas usahanya.

Selain melalui kuesioner ranah afektif peserta didik, sikap, minat, konsep diri, dan nilai dapat digali melalui pengamatan. Pengamatan karakteristik afektif    peserta    didik    dilakukan    di    tempat    dilaksanakannya    kegiatan pembelajaran.  Untuk  mengetahui  keadaan  ranah  afektif  peserta  didik, perlu ditentukan dulu indikator substansi yang akan diukur, dan pendidik harus  mencatat  setiap  perilaku  yang  muncul  dari  peserta  didik  yang berkaitan dengan indikator tersebut.



e.  Instrumen Moral

Instrumen ini bertujuan untuk mengetahui moral peserta didik. Contoh indikator moral sesuai dengan definisi tersebut adalah:
    Memegang janji
    Memiliki kepedulian terhadap orang lain
    Menunjukkan komitmen terhadap tugas-tugas
    Memiliki Kejujuran

Contoh pernyataan untuk instrumen moral
•    Bila saya berjanji pada teman, tidak harus menepati.
•    Bila berjanji kepada orang yang lebih tua, saya berusaha menepatinya.
•    Bila berjanji pada anak kecil, saya tidak harus menepatinya.
•    Bila menghadapi kesulitan, saya selalu meminta bantuan orang lain.
•    Bila    ada    orang    lain    yang    menghadapi    kesulitan,    saya    berusaha membantu.
•    Kesulitan orang lain merupakan tanggung jawabnya sendiri.
•    Bila bertemu teman, saya selalu menyapanya walau ia tidak melihat saya.
•    Bila  bertemu  guru,  saya  selalu  memberikan  salam,  walau  ia  tidak melihat saya.
•    Saya  selalu  bercerita  hal  yang  menyenangkan  teman,  walau  tidak seluruhnya benar.
•    Bila ada orang yang bercerita, saya tidak selalu mempercayainya.



3.  Skala Instrumen Penilaian Afektif

Skala yang sering digunakan dalam instrumen penelilaian afektif adalah Skala
Thurstone, Skala Likert, dan Skala Beda Semantik.

Contoh Skala Thurstone: Minat terhadap pelajaran sejarah

    7    6    5    4    3    2    1
1.    Saya senang belajar Sejarah                           
2.    Pelajaran sejarah bermanfaat                           
3.    Saya    berusaha    hadir    tiap    ada    jam
pelajaran sejarah                           
4.    Saya berusaha memiliki buku pelajaran
Sejarah                           
5.    Pelajaran sejarah membosankan                           
Dst                           

Contoh skala Likert: Sikap terhadap pelajaran matematika

1    Pelajaran matematika bermanfaat    SS    S    TS    STS
2    Pelajaran matematika sulit    SS    S    TS    STS
3    Tidak semua harus belajar matematika    SS    S    TS    STS
4    Pelajaran matematika harus dibuat mudah    SS    S    TS    STS
5    Sekolah saya menyenangkan    SS    S    TS    STS



Keterangan:
SS : Sangat setuju
S    : Setuju
TS : Tidak setuju
STS : Sangat tidak setuju

Contoh skala beda Semantik:

Pelajaran ekonomi

    a    b    c    d    e    f    g   
Menyenangkan                                Membosankan
Sulit                                Mudah
Bermanfaat                                Sia-sia
Menantang                                Menjemukan
Banyak                                Sedikit



4.  Sistem penskoran

Sistem penskoran yang digunakan tergantung pada skala pengukuran. Apabila digunakan  skala  Thurstone, maka skor tertinggi untuk tiap butir    7 dan skor terendah  1.  Demikian  pula  untuk  instrumen  dengan  skala  beda  semantik, tertinggi 7  terendah 1. Untuk skala Likert, pada awalnya skor tertinggi tiap butir  5  dan  terendah  1.  Dalam  pengukuran  sering  terjadi  kecenderungan responden memilih jawaban pada  katergori tiga 3 (tiga) untuk skala Likert. Untuk  menghindari  hal  tersebut  skala  Likert   dimodifikasi  dengan  hanya menggunakan 4 (empat) pilihan, agar jelas sikap atau minat responden.

Skor perolehan perlu dianalisis untuk tingkat peserta didik dan tingkat  kelas, yaitu dengan  mencari rerata (mean) dan simpangan baku skor. Selanjutnya ditafsirkan hasilnya untuk mengetahui minat masing-masing peserta didik dan minat kelas terhadap suatu mata pelajaran.

5.  Telaah instrumen

Kegiatan pada telaah instrumen adalah menelaah apakah: a) butir pertanyaan/ pernyataan sesuai dengan indikator, b) bahasa yang digunakan komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, c)  butir peranyaaan/pernyataan tidak bias, d) format instrumen menarik untuk dibaca, e) pedoman menjawab atau mengisi  instrumen  jelas,  dan  f)    jumlah  butir  dan/atau  panjang  kalimat pertanyaan/pernyataan    sudah    tepat    sehingga    tidak    menjemukan    untuk dibaca/dijawab.

Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan akan lebih baik bila ada pakar penilaian. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman sejawat bila yang diinginkan adalah masukan tentang bahasa dan format instrumen. Bahasa yang digunakan  adalah  yang  sesuai  dengan  tingkat  pendidikan  responden.  Hasil telaah selanjutnya digunakan untuk memperbaiki instrumen.

Panjang  instrumen  berhubungan  dengan  masalah  kebosanan,  yaitu  tingkat kejemuan dalam mengisi instrumen. Lama pengisian instrumen sebaiknya tidak lebih  dari  30  menit.  Langkah  pertama  dalam  menulis  suatu  pertanyaan/ pernyataan adalah informasi apa  yang  ingin diperoleh, struktur pertanyaan,



dan pemilihan kata-kata.  Pertanyaan yang diajukan jangan sampai bias, yaitu mengarahkan jawaban responden pada arah tertentu, positif atau negatif.

Contoh pertanyaan yang bias:
Sebagian besar pendidik setuju semua peserta didik yang menempuh ujian akhir lulus.    Apakah saudara setuju bila semua peserta didik yang mengikuti ujian lulus semua?

Contoh pertanyaan yang tidak bias:
Sebagian pendidik setuju bahwa tidak semua peserta didik harus lulus, namun sebagian lain  tidak setuju. Apakah saudara setuju bila semua peserta didik yang menempuh ujian akhir lulus semua?

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan kata-kata untuk suatu kuesioner, yaitu:
a. Gunakan  kata-kata  yang  sederhana  sesuai  dengan  tingkat  pendidikan responden
b. Pertanyaannya jangan samar-samar c.  Hindari pertanyaan yang bias.
d. Hindari pertanyaan hipotetikal atau pengandaian.

Hasil telaah instrumen digunakan untuk memperbaiki instrumen. Perbaikan dilakukan terhadap konstruksi instrumen, yaitu kalimat yang digunakan, waktu yang diperlukan untuk mengisi instrumen, cara pengisian atau cara menjawab instrumen, dan pengetikan.

6.  Merakit instrumen

Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit, yaitu menentukan format  tata  letak  instrumen  dan  urutan  pertanyaan/  pernyataan.  Format instrumen harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga responden tertarik untuk membaca dan mengisinya. Setiap sepuluh pertanyaan sebaiknya dipisahkan dengan cara memberi spasi yang  lebih, atau diberi batasan garis empat persegi panjang. Urutkan pertanyaan/pernyataan sesuai dengan tingkat kemudahan dalam menjawab atau mengisinya.

7.  Ujicoba instrumen

Setelah  dirakit  instrumen  diujicobakan  kepada  responden,  sesuai  dengan tujuan  penilaian apakah kepada peserta didik, kepada guru atau orang tua peserta didik. Untuk itu dipilih sampel yang karakteristiknya mewakili populasi yang  ingin  dinilai.  Bila  yang  ingin  dinilai  adalah  peserta  didik  SMA,  maka sampelnya juga peserta didik SMA. Sampel yang diperlukan  minimal 30 peserta didik, bisa berasal dari satu sekolah atau lebih.

Pada saat ujicoba yang perlu dicatat adalah saran-saran dari responden atas kejelasan  pedoman pengisian instrumen, kejelasan kalimat yang digunakan, dan waktu yang  diperlukan untuk mengisi instrumen. Waktu yang digunakan disarankan  bukan  waktu  saat  responden  sudah  lelah.  Selain  itu  sebaiknya responden juga diberi minuman agar tidak lelah. Perlu diingat bahwa pengisian instrumen penilaian afektif bukan merupakan tes, sehingga walau ada batasan waktu namun tidak terlalu  ketat.



Agar  responden  mengisi  instrumen  dengan  akurat  sesuai  harapan,  maka sebaiknya    instrumen    dirancang    sedemikian    rupa    sehingga    waktu    yang diperlukan mengisi instrumen tidak terlalu lama. Berdasarkan pengalaman, waktu yang diperlukan agar tidak jenuh adalah 30 menit atau kurang.

8.  Analisis hasil ujicoba

Analisis    hasil    ujicoba    meliputi    variasi    jawaban      tiap    butir    pertanyaan/ pernyataan.  Jika  menggunakan  skala  instrumen  1  sampai  7,  dan  jawaban responden bervariasi dari 1 sampai 7, maka butir pertanyaan/pernyataan pada instrumen ini dapat  dikatakan baik. Namun apabila jawabannya hanya pada satu pilihan jawaban saja, misalnya pada pilihan nomor 3, maka butir instrumen ini tergolong tidak baik. Indikator yang digunakan adalah besarnya daya beda. Bila daya beda butir instrumen lebih dari 0,30,    butir  instrumen  tergolong baik.

Indikator lain yang diperhatikan adalah indeks keandalan yang dikenal dengan indeks reliabilitas. Batas indeks reliabilitas minimal 0,70. Bila indeks ini lebih kecil dari 0,70,  kesalahan pengukuran akan melebihi batas. Oleh karena itu diusahakan agar indeks keandalan instrumen minimal 0,70.

9.  Perbaikan instrumen

Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pertanyaan/pernyataan yang tidak baik, berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah instrumen baik, namun hasil ujicoba empirik tidak baik. Untuk itu butir pertanyaan/pernyataan instrumen harus diperbaiki.  Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran dari  responden ujicoba. Instrumen  sebaiknya    dilengkapi dengan pertanyaan terbuka.

10. Pelaksanaan pengukuran

Pelaksanaan  pengukuran  perlu  memperhatikan  waktu  dan  ruangan  yang digunakan.  Waktu  pelaksanaan  bukan  pada  waktu  responden  sudah  lelah. Ruang  untuk  mengisi  instrumen  harus  memiliki  cahaya  (penerangan)  yang cukup dan sirkulasi udara yang baik. Tempat duduk juga diatur agar responden tidak  terganggu  satu  sama  lain.  Diusahakan  agar  responden  tidak  saling bertanya pada responden yang lain agar jawaban kuesioner  tidak sama atau homogen.  Pengisian  instrumen  dimulai  dengan  penjelasan  tentang  tujuan pengisian, manfaat bagi responden, dan pedoman pengisian instrumen.

11. Penafsiran hasil pengukuran

Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk menafsirkan hasil pengukuran diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan tergantung pada skala dan jumlah butir pertanyaan/pernyataan yang digunakan. Misalkan digunakan skala Likert yang berisi 10 butir pertanyaan/ pernyataan dengan 4 (empat) pilihan untuk mengukur sikap peserta didik. Skor untuk butir pertanyaan/pernyataan yang sifatnya positif:

Sangat setuju - Setuju -  Tidak setuju - Sangat tidak setuju.
(4)    (3)    (2)    (1)



Sebaliknya untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat negatif

Sangat setuju - Setuju -  Tidak setuju - Sangat tidak setuju.
(1)    (2)    (3)    (4)

Skor tertinggi untuk instrumen tersebut adalah 10 butir x 4 = 40, dan skor terendah 10 butir x 1 = 10. Skor ini dikualifikasikan misalnya menjadi  empat kategori sikap atau minat,  yaitu sangat tinggi (sangat baik), tinggi (baik), rendah (kurang), dan sangat rendah (sangat kurang). Berdasarkan kategori ini dapat ditentukan minat atau sikap peserta didik.  Selanjutnya dapat dicari sikap dan minat kelas terhadap mata pelajaran tertentu.

Penentuan kategori hasil pengukuran sikap atau minat dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Kategorisasi    sikap    atau    minat    peserta    didik    untuk    10    butir pernyataan, dengan rentang skor 10 – 40.

No.    Skor peserta didik    Kategori Sikap atau Minat
1.    Lebih besar dari 35    Sangat tinggi/Sangat baik
2.    28  sampai  35    Tinggi/Baik
3.    20  sampai  27    Rendah/Kurang
4.    Kurang dari 20    Sangat rendah/Sangat kurang

Keterangan Tabel 2:
1.  Skor batas bawah kategori sangat tinggi atau sangat baik adalah: 0,80 x 40
= 36, dan batas atasnya 40.
2.  Skor batas bawah pada kategori tinggi atau baik adalah:  0,70 x 40 = 28, dan skor batas atasnya adalah 35.
3.  Skor batas bawah pada kategori rendah atau kurang adalah: 0,50 x 40 = 20, dan skor batas atasnya adalah 27.
4.  Skor yang tergolong pada kategori sangat rendah atau sangat kurang adalah kurang dari 20.

Tabel 3    Kategorisasi  sikap atau minat kelas

No.    Skor rata-rata kelas    Kategori Sikap atau Minat
1.    Lebih besar dari 35    Sangat tinggi/Sangat baik
2.    28  sampai  35    Tinggi/Baik
3.    20  sampai  27    Rendah/Kurang
4.    Kurang dari 20    Sangat rendah/Sangat kurang

Keterangan:
1. Rata-rata  skor  kelas:  jumlah  skor  semua  peserta  didik  dibagi  jumlah peserta didik di kelas ybs.
2. Skor batas bawah kategori sangat tinggi atau sangat baik adalah: 0,80 x 40
= 36, dan batas atasnya 40.



3. Skor batas bawah pada kategori tinggi atau baik adalah:  0,70 x 40 = 28, dan skor batas atasnya adalah 35.
4. Skor batas bawah pada kategori rendah atau kurang adalah: 0,50 x 40 = 20, dan skor batas atasnya adalah 27.
5. Skor yang tergolong pada kategori sangat rendah atau sangat kurang adalah kurang dari 20.

Pada Tabel 2 dapat diketahui minat atau sikap tiap peserta didik    terhadap tiap mata pelajaran. Bila sikap peserta didik tergolong rendah,  maka peserta didik  harus  berusaha  meningkatkan  sikap dan minatnya  dengan  bimbingan pendidik. Sedang bila sikap atau minat peserta didik tergolong tinggi, peserta didik harus berusaha mempertahankannya.

Tabel 3 menujukkan minat atau sikap kelas terhadap suatu mata pelajaran. Dalam pengukuran sikap atau minat kelas diperlukan informasi tentang minat atau sikap setiap peserta didik terhadap suatu objek, seperti mata pelajaran. Hasil pengukuran minat kelas  untuk semua mata pelajaran berguna untuk membuat profil minat kelas. Jadi satuan pendidikan akan memiliki peta minat kelas  dan  selanjutnya  dikaitkan  dengan  profil  prestasi  belajar.  Umumnya peserta didik yang berminat pada mata pelajaran tertentu prestasi belajarnya untuk mata pelajaran tersebut baik.



C. Observasi

Penilaian ranah  afektif  peserta didik selain menggunakan kuesioner juga bisa dilakukan  melalui observasi atau pengamatan. Prosedurnya sama, yaitu dimulai dengan penentuan definisi konseptual dan definisi operasional. Definisi konseptual kemudian  diturunkan  menjadi  sejumlah   indikator.  Indikator  ini  menjadi  isi pedoman    observasi.    Misalnya    indikator    peserta    didik    berminat    pada    mata pelajaran matematika adalah kehadiran  di kelas, kerajinan dalam mengerjakan tugas-tugas,  banyaknya  bertanya,  kerapihan  dan  kelengkapan  catatan.  Hasil observasi  akan  melengkapi  informasi  dari  hasil  kuesioner.  Dengan  demikian informasi yang diperoleh akan lebih akurat, sehingga kebijakan yang    ditempuh akan lebih tepat.



BAB IV PENUTUP

Cukup  banyak  ranah  afektif  yang    penting  untuk  dinilai.  Namun  yang  perlu diperhatikan adalah kemampuan pendidik untuk melakukan penilaian. Untuk itu pada tahap awal  dicari  komponen afektif yang bisa dinilai oleh pendidik dan pada tahun berikutnya bisa ditambah ranah afektif lain untuk dinilai.

Ranah afektif yang penting dikembangkan adalah sikap dan minat peserta didik. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan instrumen afektif sebagai berikut.
1.    Menentukan definisi konseptual atau konstruk yang akan diukur.
2.    Menentukan definisi operasional
3.    Menentukan indikator
4.    Menulis instrumen.

Instrumen  yang  dibuat  harus  ditelaah  oleh  teman  sejawat  untuk  mengetahui keterbacaan,  substansi yang ditanyakan, dan bahasa yang digunakan. Hasil telaah digunakan untuk memperbaiki instrumen. Selanjutnya instrumen tersebut di ujicoba di lapangan. Hasil ujicoba akan menghasilkan informasi yang berupa variasi jawaban, indeks  beda,  dan  indeks  keandalan  instrumen.  Hasil   ujicoba  digunakan  untuk memperbaiki instrumen. Hal yang penting pada instrumen afektif adalah  besarnya indeks keandalan instrumen yang dikatakan baik adalah minimal 0,70.

Penafsiran hasil pengukuran menggunakan dua kategori yaitu positif atau negatif. Positif berarti  minat peserta didik tinggi atau sikap peserta didik terhadap suatu objek baik, sedang negatif  berarti minat peserta didik rendah    atau sikap peserta didik terhadap objek kurang. Demikian juga untuk instrumen yang direncanakan untuk mengukur ranah afektif yang lain.



DAFTAR PUSTAKA



Allen, Mary. Yen., & Yen, Wendy. M. (1979). Introduction measurement theory.
Berkeley, California: Brooks/Cole Publishing Company.

Andersen,  Lorin.  W.  (1981).  Assessing  affective  characteristic  in  the  schools.
Boston: Allyn and Bacon.

Gable, Robert. K. (1986).  Instrument development in the affective domain. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.

Mueller,  D.  J.  (1986).  Measuring  social  attitudes.  New  York:  Teachers  College, Columbia University.

Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Nomor  19  Tahun  2007  tentang  Standar Pengelolaan.  Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Nomor  20  Tahun  2007  tentang  Standar Penilaian  Pendidikan. Jakarta:  Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.
Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Robinson, John. P., & Shaver, Philip. R. (1980). Measures of social psychological attitudes. Michigan: The Institute of Social Research.

Sax, Gilbert. (1980). Principles of educational and psychological measurement and evaluation. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.

Straughan,  R.  (1989).  Belief,  behaviour,  and  education.    London:  Biddles  Ltd.
Guilfordand King’s Lynn.

Thorndike, Robert, L., & Hagen, Elizabeth. P. (1977). Measurement and evaluation in psychology and education. New York: John Wiley & Sons.

Traub, Ross. E. (1994). Reliability for the social sciences. London: Sage Publications.